Kamis, 06 Maret 2014

Sampai Manakah Batas Toleransi ?

Oleh
Syaikh DR. Syaikh Shâlih bin Fauzân Alu Fauzân



Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala ; shalawat serta salam selalu tercurah untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para Sahabat, serta para pengikutnya sampai hari kiamat.


Amma ba’du,


Sesungguhnya agama kita terbangun di atas rasa toleransi dan menghilangkan kesusahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَةَ السَّمْحَةِ


Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran.[1]


Allah Azza wa Jalla berfirman:


وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ


Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untuk kamu dalam agama. [al-Hajj/22:78].


Sikap toleran dan menghilangkan kesempitan (kesusahan) merupakan ciri agama yang agung ini, berbeda dengan syariat agama-agama terdahulu yang banyak terdapat kekangan, dan belenggu yang menyusahkan, akibat dari penentangan dan penyelisihan mereka terhadap perintah-perintah Allah, serta sikap perlawanan mereka terhadap nabi-nabi yang diutus kepada mereka.


Sikap toleransi dan mempermudah dalam syariat Islam terdapat pada perintah, larangan dan pensyariatan Islam. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan melepaskan atau meninggalkan hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at, karena –jika demikian-, maka itu merupakan sikap lembek dalam urusan agama, bukan sikap toleransi yang diinginkan Islam.


Allah Ta’ala berfirman:


أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ


Maka apakah kamu menganggap remeh dengan al-Qur’an ini? [al-Waqi’ah/56:81]


Dan firman-Nya:


وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ


Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:9].


Dan musuh-musuh Islam tidak akan pernah ridha (suka) terhadap kita, sampai kita melepaskan agama secara menyeluruh serta mengikuti mereka.


Allah Azza wa Jalla berfirman:


وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ


Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. [al-Baqarah/2:120].


Dan firman-Nya:


وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً


Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). [an-Nisa’/4:89].


Berdebat dengan mereka secara baik merupakan suatu keharusan syar’i untuk memuaskan mereka dengan kebenaran. Apabila perdebatan tidak mendatangkan hasil, atau melalui perdebatan itu mereka ingin kita melepas atau meninggalkan sebagian ajaran agama, maka pada saat itu kita tidak boleh bersikap lemah lembut dengan mereka sehingga membuat mereka berharap terhadap keinginannya akan tetapi kita harus bersikap keras dan tegas terhadap mereka agar pupus semua harapan mereka.


Allah Azza wa Jalla berfirman:


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ


Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [at-Tahrim/66:9].


Dan firman-Nya:


وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ


Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. [al-Ankabut/29:46].


Sikap lemah lembut bersama mereka dalam kondisi di atas termasuk dalam kategori meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.


Kita sering melihat, membaca, dan mendengar dari para Khatib atau juru dakwah anjuran untuk bersikap toleran dengan para musuh Islam, karena agama kita adalah agama toleran dan penuh dengan rasa cinta. Perkataan seperti ini tidak sepenuhnya benar, sehingga perlu perincian, karena kalau tidak maka bias mendatangkan keburukan dan salah tafsir dari orang yang mendengarkan dan membacanya. Kewajiban kita adalah untuk berhati-hati dalam perkara ini serta meletakkan hal seperti ini pada tempatnya. Alangkah sering kita mengulangi dan mendengungkan perkataan-perkataan seperti ini, akan tetapi itu semua tidak cukup untuk merubah musuh-musuh Islam dari tabiat dan sikap mereka terhadap kita dan agama Islam. Ingatlah kejadian yang belum lama terjadi yaitu peristiwa perobekan mushaf (al-Qur’an) kemudian dilemparkan ke dalam WC, dan tindakan mencela Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.


Allah Azza wa Jalla berfirman:


وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ


Dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. [Ali Imran/3:118].


Sungguh, perbuatan-perbuatan mereka terhadap kaum Muslimin lebih parah daripada perkataan mereka, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan, Irak, Bosnia, dan Herzegovina. Sungguh benar firman Allah Azza wa Jalla:


وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا


Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. [al-Baqarah/2:217].


Dan firman-Nya:


إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ


Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. [al-Mumtahanah/60:2]


Ini yang bisa saya sampaikan. Kita mohon kepada Allah Ta’ala agar menolong agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya dan menghinakan para musuh-Nya.


وصلى الله وسلم على نبينا محمد و اله وصحبه


(Diangkat dari kitab al-Bayan li Akhtha’i Ba’dil Kuttab,3/325-326)


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun XVII/1435H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______
Footnote
[1].HR Imam Ahmad (5/266) dari hadits Abu Umamah. Hadits ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq dalam Kitabul Iman, Bab ad-Diinu Yusrun dengan lafazh

أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَةُ السَّمْحَةُ


Dan dibawakan dengan sanan yang bersambung dalam kitab Adabul Mufrad,no. 287 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu.

Rabu, 05 Maret 2014

Kesempurnaan Di Atas Kesempurnaan Dalam Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allâh

Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA



Allâh Azza wa Jalla menyifati nama-nama-Nya dalam al-Qur’ân dengan al-husna (maha indah) yang berarti kemahaindahan yang mencapai puncak kesempurnaan. Karena nama-nama tersebut mengandung sifat-sifat kesempurnaan yang tidak ada celaan atau kekurangannya sedikitpun dari semua sisi.[1]


Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


Hanya milik Allâh-lah asma-ul husna (nama-nama yang maha indah), maka berdoalah kepada-Nya dengan nama-nama itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran) dalam (menyebut dan memahami) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka lakukan [al-A’râf/7:180]


Demikian pula sifat-sifat-Nya adalah maha sempurna yang mencapai puncak kesempurnaan serta tidak ada cela dan kekurangan sedikitpun.[2]


Allâh Azza wa Jalla berfirman:


لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ ۖ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ


Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana [an-Nahl/16:60]


Artinya: Allâh Azza wa Jalla mempunyai sifat kesempurnaan mutlak (yang tidak terbatas) dari semua segi [3].


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Sifat-sifat) maha sempurna adalah milik Allâh, bahkan Dia memiliki (sifat-sifat) yang kesempurnaannya mencapai puncak yang paling tinggi, sehingga tidak ada satu kesempurnaanpun yang tanpa cela kecuali Allâh Azza wa Jalla berhak memilikinya untuk diri-Nya yang maha suci.”[4]


KESEMPURNAAN DI ATAS KESEMPURNAAN

Kemahasempurnaan yang paling tinggi ini ada pada masing-masing dari nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala secara tersendiri atau terpisah, sehingga jika dua dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya digabungkan atau digandengkan, sebagaimana yang banyak terdapat dalam ayat-ayat al-Qur’an, tentu ini menunjukkan kemahasempurnaan lain dari penggandengan dua nama dan dua sifat tersebut. Inilah yang dinamakan oleh sebagian para Ulama dengan “al-kamâlu fauqal kamâl” (kesempurnaan di atas kesempurnaan) [5] .

Tidak diragukan lagi bahwa penggandengan dua nama dan dua sifat Allâh Azza wa Jalla ini mengandung hikmah yang agung dan faidah yang besar dalam mengenal kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Ini menunjukkan kemahasempurnaan Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang disertai dengan sanjungan dan pujian yang agung bagi-Nya. Karena masing-masing dari nama-nama-Nya mengandung sifat kesempurnaan bagi-Nya, maka jika dua nama-Nya digandengkan, ini mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya ditinjau dari masing-masing nama tersebut, serta mengandung pujian dan sanjungan bagi-Nya ditinjau dari penggandengan keduanya.[6]


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Demikianlah keumuman sifat-sifat Allâh yang digandengkan (satu sama lain) dan nama-nama-Nya yang digabungkan dalam al-Qur’an.


Sesungguhnya (sifat Allâh) al-Ginâ (maha kaya) adalah sifat kesempurnaan, demikian pula al-Hamdu (maha terpuji), ketika keduanya digabungkan [7] maka (menunjukkan) kesempurnaan lain. Bagi-Nya sanjungan dalam (sifat) maha kaya-Nya, juga sanjungan dalam (sifat) maha terpuji-Nya serta sanjungan dalam penggabungan keduanya.


Demikian pula (penggabungan dua nama-Nya) al-‘Afuw al-Qadîr” (Yang Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu), “al-Hamîd al-Majîd” (Yang Maha Terpuji lagi Maha Mulia), dan “al-‘Azîz al-Hakîm” (Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). Renungkanlah semua ini, karena ini termasuk pengetahuan yang paling agung (dalam Islam).”[8]


CONTOH-CONTOH PENGGABUNGAN DUA NAMA ALLAH AZZA WA JALLA DALAM AL-QUR’AN

1. Nama Allâh “al-‘Azîz” (Yang Maha Perkasa) dan “al-Hakîm” (Yang Maha Memiliki hukum dan hikmah[9] yang sempurna).

Kedua nama ini disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya: al-Baqarah/2, ayat ke-129, Ali ‘Imrân/3 ayat ke-62, al-Mâidah/5 ayat ke-38 dan ke-118.


Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla yang maha indah ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-‘izzah (maha perkasa) pada nama-Nya “al-‘Azîz” dan hukum serta hikmah yang sempurna pada nama-Nya “al-Hakîm”.


Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa kemahaperkasaan Allâh Azza wa Jalla selalu bersama sifat hikmah-Nya, sehingga kemahaperkasaan-Nya tidak mengandung kezhaliman atau aniaya, ketidakadilan dan keburukan, karena ditempatkan tepat pada tempatnya. Ini berbeda dengan makhluk, di antara mereka ada yang mungkin memiliki keperkasaan, akan tetapi karena tidak disertai hikmah, sehingga keperkasaan itu justru menjadikannya berbuat aniaya, tidak adil dan berperilaku buruk.


Demikian pula hukum dan hikmah Allâh Subhanahu wa Ta’ala selalu bersama kemahaperkasaan-Nya yang sempurna, sehingga mampu diberlakukan-Nya pada semua makhluk-Nya tanpa ada satu makhlukpun yang bisa menghalangi. Ini berbeda dengan hukum dan hikmah pada makhluk atau manusia yang penuh dengan kekurangan dan tidak selalu disertai dengan keperkasaan, sehingga sering tidak bisa diberlakukan.[10]


2. Nama Allâh “al-Ganiyyu” (Yang Maha Kaya) dan “al-Hamîd” (Yang Maha Terpuji).

Kedua nama ini juga disebutkan dalam banyak ayat al-Qur’an, misalnya: Fâthir/35 ayat ke-15, Luqmân/31 ayat ke-12 dan 26.

Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya, yaitu al-ginâ (maha kaya) pada nama-Nya “al-Ganiyyu” dan al-hamdu (maha terpuji) pada nama-Nya “al-Hamîd”.


Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa barangsiapa memuji Allâh Azza wa Jalla dan bersyukur kepada-Nya atas semua limpahan nikmat dan karunia-Nya maka sesungguhnya Dia k memang berhak untuk dipuji dan disyukuri atas segala nikmat-Nya. Namun segala pujian dan sanjungan kepada-Nya tidak menambah kemuliaan dan kekuasaan-Nya sedikitpun. Karena Dia Maha Kaya sehingga Dia Subhanahu wa Ta’ala tidak butuh kepada pujian dan sanjungan makhluk-Nya, sebagaimana ketaatan makhluk-Nya tidak bermanfaat bagi-Nya dan perbuatan maksiat mereka tidak merugikan dan membahayakan-Nya sedikitpun.


Maka semua ketaatan manusia adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri, sebagaimana perbuatan maksiat mereka akan merugikan diri mereka sendiri. Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ


Barangsiapa bersyukur (kepada Allâh) maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur) maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji [Luqmân/31:12] [11] .


Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allâh Azza wa Jalla berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan mampu mencelakai-Ku dan kalian tidak akan mampu memberikan kemanfaatan bagi-Ku. Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada di dunia) sampai yang terakhir semuanya (keadaannya seperti) orang yang paling bertakwa hatinya di antara kalian, maka hal itu tidak menambah kekuasaan-Ku sedikitpun, dan (sebaliknya) seandainya manusia dan jin dari yang pertama (ada di dunia) sampai yang terakhir semuanya (keadaannya seperti) orang yang paling buruk hatinya di antara kalian, maka hal itu tidak mengurangi kekuasaan-Ku sedikitpun …”[12] .


3. Nama Allâh Azza wa Jalla “al-‘Azîz” (Yang Maha Perkasa) dan ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang).

Kedua nama ini disebutkan berulangkali dalam surah asy-Syu’arâ’/26 di akhir ayat-ayat yang menceritakan kisah-kisah para Nabi dan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta umat yang mendustakan seruan dakwah mereka. Misalnya dalam ayat ke-9, 68, 104, 122 dan 140 Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَإِنَّ رَبَّكَ لَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ


“Dan sesungguhnya Rabb-mu (Allâh Azza wa Jalla) benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang”.


Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha perkasa adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha penyayang adalah sifat kesempurnaan.


Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa semua yang Allâh Azza wa Jalla berlakukan kepada para Nabi-Nya Azza wa Jalla berupa pertolongan dalam menghadapi musuh-musuh mereka, keteguhan iman dan ketinggian derajat mereka adalah bukti dari sifat rahmat (maha penyayang) Allâh Azza wa Jalla yang dilimpahkan dan dikhususkan-Nya kepada para Nabi-Nya. Dialah yang menjaga, melindungi dan menolong mereka dari tipu daya musuh-musuh mereka. Sebaliknya, semua yang diberlakukan-Nya kepada musuh-musuh para Nabi-Nya k berupa siksaan dan kebinasaan merupakan bukti sifat maha perkasa-Nya. Maka Dia Subhanahu wa Ta’ala menolong para Rasul-Nya Azza wa Jalla dengan rahmat-Nya dan membinasakan musuh-musuh mereka dengan keperkasaan-Nya, sehingga penyebutan kedua nama ini di ayat-ayat tersebut di atas sangat sesuai dan tepat.[13]


4. Nama Allâh dan al-Gafûr (Yang Maha Pengampun) dan al-Wadûd (Yang Maha Mencintai)

Kedua nama ini digandengkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla :

إِنَّهُ هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ﴿١٣﴾وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ


Sesungguhnya Dia-lah Yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali). Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Mencintai hamba-hamba-Nya [al-Burûj/85:13-14]


Masing-masing dari kedua nama Allâh Azza wa Jalla ini menunjukkan kemahasempurnaan dalam sifat yang dikandungnya. Sifat maha pengampun adalah sifat kesempurnaan, sebagaimana sifat maha mencintai adalah sifat kesempurnaan.


Penggabungan kedua nama ini menunjukkan kemahasempurnaan lain, yaitu bahwa Allâh Azza wa Jalla mencintai hamba-hamba-Nya yang selalu bertaubat dan memohon ampun kepada-Nya. Maka perbuatan dosa yang mereka lakukan tidaklah menghalangi mereka untuk meraih kecintaan Allâh Azza wa Jalla selama mereka bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan kembali kepada-Nya.


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, yaitu bahwa Allâh mencintai para hamba-Nya yang bertaubat dan Dia mencintai hamba-Nya setelah (mendapat) pengampunan-Nya. Maka Allâh mengampuni-Nya kemudian mencintai-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya :


ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


Sesungguhnya Allâh mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri [al-Baqarah/2:222]


Maka orang yang bertaubat adalah kekasih Allâh [14].


Syaikh ‘Abdur Rahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini terdapat rahasia (hikmah) yang halus, di mana Allâh menggandengkan (nama-Nya) al-Wadûd (Yang Maha Mencintai) dengan (nama-Nya) al-Ghafûr (Yang Maha Pengampun). Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berbuat dosa, jika mereka (sungguh-sungguh) bertaubat dan kembali kepada Allâh, maka Dia akan mengampuni dosa-dosa mereka dan mencintai mereka. Maka tidak (benar jika) dikatakan bahwa dosa-dosa mereka diampuni akan tetapi kecintaan Allâh tidak akan mereka raih kembali.”[15]


CATATAN DAN FAIDAH PENTING

Di antara nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits-hadits Rasûlullâh n ada yang selalu disebutkan secara bergandengan satu sama lain, maka kedua nama ini tidak boleh disebutkan secara terpisah, karena kedua nama ini hanya mengandung pujian dan sanjungan bagi Allâh Azza wa Jalla jika digandengakan dan tidak dipisahkan. Misalnya: “al-Qâbidh al-Bâsith”[16] (Yang Maha Menyempitkan dan Melapangkan rizki bagi hamba-hamba-Nya) dan “al-Muqaddim al-Muakhkhir”[17] (Yang Maha Mendahulukan dan Mengakhirkan).

Oleh karena itu, kedua nama ini meskipun secara makna adalah terdiri dari dua nama, karena masing-masingnya membawa makna yang berbeda dengan yang lain, akan tetapi kedudukannya seperti satu nama, karena tidak boleh disebutkan kecuali bergandengan satu sama lain, agar menunjukkan kesempurnaan dan pujian bagi Allâh Azza wa Jalla [18] .


Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Di antara nama-nama Allâh Azza wa Jalla ada yang tidak boleh disebutkan secara terpisah, tapi (harus) digandengkan dengan (nama Allâh Subhanahu wa Ta’alaain) yang merupakan kebalikannya, seperti: al-Mâni’ (yang maha mencegah/tidak memberi), adh-Dhârr (yang maha mendatangkan bahaya) dan al-Muntaqim (yang maha membalas dendam/memberi siksaan). Nama-nama ini tidak boleh dipisahkan dari (nama-nama Allâh Azza wa Jalla ) yang merupakan kebalikannya, karena nama-nama tersebut bergandengan dengan nama-Nya al-Mu’thi (yang maha memberi), an-Nâfi’ (yang maha memberi manfaat) dan al-‘Afuw (yang maha pemaaf). Maka Dialah “Yang Maha Memberi lagi maha mencegah atau tidak memberi”, “Yang Maha Memberi manfaat lagi Maha mendatangkan bahaya”, “Yang Maha Memberi siksaan lagi Maha Pemaaf” dan “Yang Maha Memuliakan dan Maha Menghinakan”.


Kemahasempurnaan (bagi Allâh Azza wa Jalla ) adalah dengan menggandengkan nama-nama ini dengan (nama-nama Allâh Azza wa Jalla lainnya) yang merupakan kebalikannya, karena ini berarti bahwa Allâh Maha Tunggal atau Esa dalam sifat rububiyah-Nya, mengatur (urusan) makhluk-Nya dan memberlakukan pada mereka (apa yang dikehendaki-Nya) dalam memberi, mencegah, memberi manfaat, mendatangkan bahaya, memaafkan dan memberi siksaan.


Adapun memuji Allâh Azza wa Jalla dengan hanya (menyebutkan) yang maha mencegah atau tidak memberi, maha membalas dendam atau memberi siksaan dan maha mendatangkan bahaya maka ini tidak diperbolehkan.


Maka inilah nama-nama Allâh Azza wa Jalla yang selalu bergandengan satu sama lainnya, kedudukannya seperti satu nama yang tidak boleh dipisahkan huruf-hurufnya satu dari yang lain. Meskipun nama-nama ini lebih dari satu tapi kedudukannya seperti satu nama. Oleh karena itu, nama-nama ini tidak pernah disebutkan dan dimutlakkan kecuali bergandengan (satu sama lainnya), maka pahamilah ini!”[19]


PENUTUP

Demikianlah pemaparan ringkas tentang “kesempurnaan di atas kesempurnaan” dalam nama-nama dan sifat-sifat Allâh Azza wa Jalla . Meskipun kita beriman secara pasti bahwa keindahan dan kesempurnaan dalam kandungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya tidak terbatas dan melebihi dari semua keindahan dan kesempurnaan yang mampu digambarkan oleh akal pikiran manusia.

Benarlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengungkapkan keindahan dan kesempurnaan yang tanpa batas ini dalam doa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang populer:


لا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَما أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ


Aku tidak mampu menghitung/membatasi pujian/sanjungan terhadap-Mu, Engkau adalah sebagaimana (pujian dan sanjungan) yang Engkau peruntukkan bagi diri-Mu[20]


Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan memohon kepada Allâh dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar Dia memudahkan kita untuk memahami dengan benar keindahan dan kesempurnaan dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya, yang dengan itu kita bisa mencintai-Nnya dan menyempurnakan penghambaan diri kita kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Lihat kitab al-Qawâ’idul Mutslâ (hlm. 21).
[2]. Ibid (hlm. 53).
[3]. Lihat Tafsîr Ibnu Katsir (2/756).
[4]. Kitab al-Qawâ’idul Mutslâ (6/71).
[5]. Lihat penjelasan syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam al-Qawâ’idul Mutslâ (hlm. 23).
[6]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 41).
[7]. Misalnya dalam QS Fâthir: 15 dan QS Luqmân: 26.
[8]. Kitab Badâ-i’ul Fawâ-id (1/168-169).
[9]. Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari kesempurnaan ilmu Allah Azza wa Jalla, lihat kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 131 dan 946).
[10]. Lihat kitab al-Qawâ’idul Mutslâ (hal. 23) dan Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 41).
[11]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 42).
[12]. HSR Muslim (no. 2577).
[13]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 42).
[14]. Kitab Raudhatul Muhibbîn (hlm. 47).
[15]. Kitab Taisîrul Karîmir Rahmân (hlm. 918).
[16]. Kedua nama ini disebutkan dalam HR Abu Dawud (no. 3451), at-Tirmidzi (no. 1314) dan Ibnu Majah (no. 2200), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani.
[17]. Kedua nama Allâh k ini disebutkan dalam banyak hadits shahih, di antaranya dalam HSR al-Bukhari (no. 6035) dan Muslim (no. 2719), juga dalam HSR Muslim (no. 771).
[18]. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ (hlm. 280) dan al-Mujalla fi Syarhil Qawâ‘idil Mutsla (hlm. 160)..
[19]. Kitab Badâ-i’ul Fawâid (1/177).
[20]. HSR Muslim (no. 486).

Hukum Wasilah (Tawassul)

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى


al-Wasilah secara bahasa (etimologi) berarti segala hal yang dapat menggapai sesuatu atau dapat mendekatkan kepada sesuatu. Bentuk jamaknya adalah wasaa-il.[1]


al-Fairuz Abadi mengatakan tentang makna “وَسَّلَ إِلَى اللهِ تَوْسِيْلاً”: “Yaitu ia mengamalkan suatu amalan yang dengannya ia dapat mendekatkan diri kepada Allâh,”[2]


Selain itu wasilah juga mempunyai makna yang lain yaitu kedudukan di sisi raja, derajat dan kedekatan.[3]


Wasilah secara syar’i (terminologi) yaitu yang diperintahkan di dalam al-Qur'ân adalah segala hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu berupa amal ketaatan yang disyari’atkan.


Allâh Azza wa Jalla berfirman :


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ


Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allâh dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, [al-Mâ-idah/5:35]


Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “Makna wasilah dalam ayat tersebut adalah peribadahan yang dapat mendekatkan diri kepada Allâh (al-Qurbah).” Demikian pula yang diriwayatkan dari Mujâhid, Abu Wa’il, al-Hasan, ‘Abdullah bin Katsir, as-Suddi, Ibnu Zaid dan yang lainnya. Qatâdah berkata tentang makna ayat tersebut, "Mendekatlah kepada Allâh dengan mentaati-Nya dan mengerjakan amalan yang diridhai-Nya.”[4]


Adapun tawassul (mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara tertentu) ada tiga macam:


1. Masyrû’, yaitu tawassul kepada Allâh Azza wa Jalla dengan Asma’ dan Sifat-Nya dengan amal shalih yang dikerjakannya atau melalui doa orang shalih yang masih hidup.


2. Bid’ah, yaitu mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan cara yang tidak disebutkan dalam syari’at, seperti tawassul dengan pribadi para Nabi dan orang-orang shalih, dengan kedudukan mereka, kehormatan mereka, dan sebagainya.


3. Syirik, bila menjadikan orang-orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah, termasuk berdoa kepada mereka, meminta keperluan dan memohon pertolongan kepada mereka.[5]


TAWASUL YANG MASYRU

Tawassul yang masyru’ (yang disyari’atkan) ada 3 macam, yaitu:[6]

1. Tawassul Dengan Nama-Nama Dan Sifat-Sifat Allâh Subhanahu Wa Ta’ala .

Yaitu seseorang memulai doa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengagungkan, membesarkan, memuji, mensucikan Dzat-Nya yang Maha Tinggi, Nama-Nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi kemudian berdoa (memohon) apa yang dia inginkan. Inilah bentuk doa dengan menjadikan pujian dan pengagungan sebagai wasilah kepada-Nya agar Dia mengabulkan doa dan permintaannya sehingga dia pun mendapatkan apa yang dia minta dari Rabb-nya.

Dalil dari al-Qur-ân tentang tawassul yang masyru’ ini adalah firman Allâh Azza wa Jalla :


وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ ۚ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ


Dan Allâh memiliki Asma-ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalah-artikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan. [al-A’râf/7:180]


Dalil dari al-Hadits tentang tawassul yang masyru’ ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang yang berucap dalam dalam shalatnya :


اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِأَنَّ لَكَ الْحَمْدَ، لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ وَحْدَكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ، اَلْمَنَّانُ، يَا بَدِيْعَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ، يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ، إِنِّي أَسْأَلُكَ ( الْجَنَّةَ وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ )


“Ya Allâh, aku mohon kepada-Mu. Sesungguhnya bagi-Mu segala pujian, tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Mu, Maha Pemberi nikmat, Pencipta langit dan bumi tanpa contoh sebelumnya. Ya Rabb Yang memiliki keagungan dan kemuliaan, ya Rabb Yang Mahahidup, ya Rabb yang mengurusi segala sesuatu, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu agar dimasukkan (ke surga dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa neraka).”


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


لَقَدْ دَعَا اللهَ بِاسْمِهِ الْعَظِيْمِ الَّذِي إِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ، وَإِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى


Sungguh dia telah meminta kepada Allâh dengan Nama-Nya yang paling agung yang apabila seseorang berdoa dengannya niscaya akan dikabulkan, dan apabila ia meminta akan dipenuhi permintaannya.”[7]


Juga hadits lain yang diriwayatkan dari Anas bin Mâlik, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa :


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ أَصْلِحْ لِى شَأْنِي كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ.


Wahai Rabb Yang Mahahidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri sendiri (tidak butuh segala sesuatu) dengan rahmat-Mu aku meminta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau serahkan urusanku kepada diriku meskipun hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).[8]


2. Seorang Muslim Bertawassul Dengan Amal Shalih Yang Dilakukannya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ


(Yaitu) orang-orang yang berdoa: ‘Ya Rabb kami, kami benar-benar beriman, maka ampunilah dosa-dosa kami dan lindungilah kami dari adzab Neraka. [Ali ‘Imrân/3:16][9]


Dalil lainnya yaitu tentang kisah tiga orang yang terperangkap dalam gua lalu mereka bertawassul kepada Allâh Azza wa Jalla dengan amal-amal mereka yang shalih lagi ikhlas, yang mereka tujukan untuk mengharap wajah Allâh Yang Mahamulia, maka mereka diselamatkan dari batu yang menutupi mulut gua tersebut.[10]


3. Tawassul Kepada Allâh Azza Wa Jalla Dengan Doa Orang Shalih Yang Masih Hidup.

Jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari kekurangan-kekurangan dirinya di hadapan Allâh Azza wa Jalla , sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allâh, lalu ia pergi kepada orang yang diyakini keshalihan dan ketakwaannya, atau memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur-ân serta as-Sunnah, kemudian ia meminta kepada orang shalih itu agar mendoakan dirinya kepada Allâh supaya ia dibebaskan dari kesedihan dan kesusahan, maka cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan, seperti:

Pertama : Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pernah terjadi musim kemarau pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hari Jum’at. Tiba-tiba berdirilah seorang Arab Badui, ia berkata, ‘Wahai Rasûlullâh, telah musnah harta dan telah kelaparan keluarga.’ Lalu Rasûlullâh mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, ‘Ya Allâh turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allâh, turunkanlah hujan kepada kami.” Tidak lama kemudian turunlah hujan.[11]


Kedua : Hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bahwa ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu -ketika terjadi musim paceklik- ia meminta hujan kepada Allâh Azza wa Jalla melalui ‘Abbas bin ‘Abdil Muthalib Radhiyallahu anhu, lalu berkata, “Ya Allâh, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lalu Engkau menurunkan hujan kepada kami. Sekarang kami memohon kepada-Mu melalui paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” Ia (Anas bin Mâlik) berkata, “Lalu mereka pun diberi hujan.”[12]


Seorang Mukmin dapat pula minta didoakan oleh saudaranya untuknya seperti ucapannya, “Berdoalah kepada Allâh agar Dia memberikan keselamatan bagiku atau memenuhi keperluanku.” Dan yang serupa dengan itu. Sebagaimana juga Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kepada seluruh ummatnya untuk mendoakan beliau, seperti bershalawat kepada beliau setelah adzan atau memohon kepada Allâh agar beliau diberikan wasilah, keutamaan dan kedudukan yang terpuji yang telah dijanjikan oleh-Nya.


Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :


إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلاَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لِيَ الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِي الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِي إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ تَعَالَى، وَأَرْجُو أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.


Apabila kalian mendengar adzan, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzin. Kemudian bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya barang siapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allâh akan bershalawat kepadanya sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat di Surga) kepada Allâh untukku karena ia adalah kedudukan di dalam Surga yang tidak layak bagi seseorang kecuali bagi seorang hamba dari hamba-hamba Allâh dan aku berharap akulah hamba tersebut. Maka, barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka dihalalkan syafa’atku baginya.[13]


Doa yang dimaksud adalah doa sesudah adzan yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :


اَللّٰهُمَّ رَبَّ هٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ


Ya Allâh, Rabb Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalat (wajib) yang akan didirikan. Berilah al-wasilah (kedudukan di Surga) dan keutamaan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Bangkitkanlah beliau sehingga dapat menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan.[14]


TAWASSUL BID’AH

Tawassul yang bid’ah yaitu mendekatkan diri kepada Allâh dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan syariat. Tawassul yang bid’ah ini ada beberapa macam,[15] di antaranya:

1. Tawassul dengan kedudukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kedudukan orang selainnya.

Perbuatan ini adalah bid’ah dan tidak boleh dilakukan. Adapun hadits yang berbunyi:

إِذَا سَأَلْتُمُ اللهَ فَاسْأَلُوْهُ بِجَاهِيْ، فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللهِ عَظِيْمٌ


Jika kalian hendak memohon kepada Allâh, maka mohonlah kepada-Nya dengan kedudukanku, karena kedudukanku di sisi Allâh adalah agung


Hadits ini bathil tidak jelas asal-usulnya dan tidak terdapat sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan, tidak juga seorang Ulama ahli hadits pun yang menyebutkannya sebagai hadits.[16] Jika tidak ada satu pun dalil yang shahih tentangnya, maka itu berarti tidak boleh, sebab setiap ibadah tidak boleh dilakukan kecuali berdasarkan dalil yang shahih dan jelas.


2. Tawassul dengan dzat makhluk.

Jika dimaksudkan: seseorang bersumpah dengan makhluk dalam meminta kepada Allâh, maka tawassul ini—seperti bersumpah dengan makhluk—tidak dibolehkan, sebab sumpah makhluk terhadap makhluk tidak dibolehkan, bahkan termasuk syirik, sebagaimana disebutkan di dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ


Barang siapa yang bersumpah dengan selain Nama Allâh, maka ia telah berbuat kufur atau syirik[17]


Apalagi bersumpah dengan makhluk kepada Allâh, maka Allâh tidak menjadikan permohonan kepada makhluk sebagai sebab terkabulnya doa dan Dia tidak mensyari’atkannya.


3. Tawassul dengan hak makhluk.

Tawassul ini pun tidak dibolehkan, karena dua alasan:
Pertama, bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak wajib memenuhi hak atas seseorang, tetapi justru sebaliknya, Allâh-lah yang menganugerahi hak tersebut kepada makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya :

وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِينَ


“... Dan merupakan hak Kami untuk menolong orang-orang yang beriman.” [ar-Rûm/30:47]


Orang yang taat berhak mendapatkan balasan (kebaikan) dari Allâh karena anugerah dan nikmat, bukan karena balasan setara sebagaimana makhluk dengan makhluk yang lain.


Kedua, hak yang dianugerahkan Allâh kepada hamba-Nya adalah hak khusus bagi diri hamba tersebut dan tidak ada kaitannya dengan orang lain dalam hak tersebut. Jika ada yang bertawassul dengannya, padahal dia tidak mempunyai hak berarti dia bertawassul dengan perkara asing yang tidak ada kaitannya antara dirinya dengan hal tersebut dan itu tidak bermanfaat untuknya sama sekali.[18]


Adapun hadits yang berbunyi :


أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ ....


“Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon ....”


Hadits ini dha’if sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (III/21), lafazh ini milik Ahmad dan Ibnu Majah. Dalam sanad hadits ini terdapat ‘Athiyyah al-‘Aufi dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu . ‘Athiyyah adalah perawi yang dha’if seperti yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah dalam al-Adzkâr, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam al-Qâ’idatul-Jalîlah dan Imam adz-Dzahabi dalam al-Miizân, bahkan dikatakan (dalam adh-Dhu’aa-faa’, I/88): “Disepakati kedha’ifannya!!” Demikian pula oleh al-Hafizh al-Haitsami di tempat lainnya dari Majma’uz Zawâ-id (V/236).[19]


TAWASSUL SYIRIK

Tawassul yang syirik, yaitu menjadikan orang yang sudah meninggal sebagai perantara dalam ibadah seperti berdoa kepada mereka, meminta hajat, atau memohon pertolongan sesuatu kepada mereka.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :


أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ ۚ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ


Ingatlah! Hanya milik Allâh agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allâh dengan sedekat-dekatnya.’ Sungguh, Allâh akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allâh tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar. [az-Zumar/39:3][20]


Tawassul dengan meminta doa kepada orang mati tidak diperbolehkan bahkan perbuatan ini adalah syirik akbar. Karena mayit sudah tidak bias lagi berdoa seperti ketika ia masih hidup. Demikian juga meminta syafa’at kepada orang mati, karena ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu, Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiyallahu anhu dan para Shahabat yang bersama mereka, juga para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik ketika ditimpa kekeringan mereka memohon diturunkannya hujan, bertawassul, dan meminta syafa’at kepada orang yang masih hidup, seperti kepada al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib dan Yazid bin al-Aswad. Mereka tidak bertawassul, meminta syafa’at dan memohon diturunkannya hujan melalui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik di kuburan beliau atau pun di kuburan orang lain, tetapi mereka mencari pengganti (dengan orang yang masih hidup).


‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu berkata, ‘Ya Allâh, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan Nabi-Mu, sehingga Engkau menurunkan hujan kepada kami dan kini kami bertawassul kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, karena itu turunkanlah hujan kepada kami.’ Ia (Anas) berkata: ‘Lalu Allâh menurunkan hujan.’[21] Mereka menjadikan al-‘Abbas Radhiyallahu anhu sebagai pengganti dalam bertawassul ketika mereka tidak lagi bertawassul kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesuai dengan yang disyari’atkan sebagaimana yang telah mereka lakukan sebelumnya. Padahal sangat mungkin bagi mereka untuk datang ke kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawassul melalui beliau, jika memang hal itu dibolehkan. Dan mereka (para Sahabat) meninggalkan praktek-praktek tersebut merupakan bukti tidak diperbolehkannya bertawassul dengan orang mati, baik meminta doa maupun syafa’at kepada mereka. Seandainya meminta doa atau syafa’at, baik kepada orang mati atau maupun yang masih hidup itu sama saja, tentu mereka tidak berpaling dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang lebih rendah derajatnya.[22]


وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ ۖ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ


“Dan tidak (pula) sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allâh memberikan pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” [Fâthir/35:22]


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Lihat an-Nihâyah fî Gharîbil Hadîts wal Atsar (V/185) oleh Majduddin Abu Sa’adat al-Mubarak Muhammad al-Jazry yang terkenal dengan Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) rahimahullah.
[2]. Qâmûsul Muhîth (III/634), cet. Daarul Kutub Ilmiyah.
[3]. Tawassul Anwâa’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 12), oleh Syaikh al-Albani, cet. Maktabah al-Ma’arif, th. 1421 H.
[4]. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari (IV/567), cet. Daarul Kutub al-’Ilmiyyah dan Tafsîr Ibni Katsiir (III/103), tahqiq Sami Muhammad as-Salamah, cet. IV, th. 1428 H, Daar at-Thaybah.
[5]. Mujmal Ushûl Ahlis Sunnah wal Jamâ’ah fil ‘Aqîdah (hlm. 15-17).
[6]. Diringkas dari at-Tawassul Anwâ’uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 30-40), oleh Syaikh al-Albani; Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il (II/335-355) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin; dan Haqîqatut Tawassul al-Masyrû’ wal Mamnû’, tash-hih Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin.
[7]. Shahîh: HR. Abu Dawud (no. 1495), an-Nasa-i (III/52) dan Ibnu Majah (no. 3858), dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu . Lihat Shahîh Ibni Mâjah (II/329).
[8]. Shahîh: HR. An-Nasa-i, al-Bazzar dan al-Hakim (I/545).Hadits ini hasan, lihat Shahîhut Targhîb wat Tarhîb (I/417, no. 661).
[9]. Lihat juga QS. Ali ‘Imran: 53 dan 193-194.
[10]. Shahîh: HR. al-Bukhari (no.2272, 3465) dan Muslim (no. 2743) dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. Lihat Riyâdhush Shâlihîn (no. 12, bab Ikhlas)
[11]. Shahîh: HR. al-Bukhari (no. 932, 933, 1013) dan Abu Dawud (no. 1174), dari Sahabat Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu .
[12]. Shahîh: HR. al-Bukhari (no. 1010, 3710) dan Ibnu Sa’d dalam ath-Thabaqât (III/20) cet. Daarul Fikr.
[13]. Shahîh: HR. Muslim (no. 384), Abu Dawud (no. 523), at-Tirmidzi (no. 3614) dan an-Nasa’i (II/25), lafazh ini milik Muslim.
[14]. Shahîh: HR. al-Bukhari (Fat-hul Bâri, II/94 no. 614),Abu Dawud (no. 529), at-Tirmidzi (no. 211), an-Nasa-i (II/26-27) dan Ibnu Majah (no. 722)
[15]. Dinukil dari ‘Aqîdatut Tauhîd (hlm. 142-144) oleh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan.
[16]. Lihat Majmû’ Fatâwâ (I/319) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[17]. Shahîh: HR. At-Tirmidzi (no. 1535) dan al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma. al-Hâkim berkata, “Hadits ini Shahîh menurut syarat al-Bukhari dan Muslim.” Dan disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah (no. 2042).
[18]. ‘Aqîdatut Tauhîd (hlm. 144).
[19]. Dinukil dari Tawassul ‘Anwâ-uhu wa Ahkâmuhu (hlm. 92) oleh Syaikh al-Albani. Lihat juga Silsilatul Ahâdîts adh-Dha’îfah (no.24) oleh Syaikh al-Albani.
[20]. Lihat juga QS. Al-Ahqâf: 5-6.
[21]. Shahîh: HR.Al-Bukhari (no.1010) dari Sahabat Anas.
[22]. Lihat ‘Aqiidatut Tauhiid (hlm.142-143).

Keberuntungan Tercapai Dengan Tawassul Dan Jihad

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas حَفِظَهُ الله تَعَالَى


Allâh Azza wa Jalla berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh, dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. [al-Mâidah/5: 35]


al-Hâfizh Ibnu Jarîr at-Thabari rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Hai orang-orang yang membenarkan semua yang diberitakan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya kepada kalian, dan Dia k telah menjanjikan pahala dan mengancam dengan hukuman, sambutlah seruan Allâh Azza wa Jalla dalam seluruh perkara yang diperintahkan dan dilarang untuk kalian dengan penuh ketaatan kepada-Nya (dalam melaksanakan perintah dan menjauhkan larangan), dan wujudkanlah keimanan kalian dan pembenaran kalian kepada Rabb dan Nabi kalian dengan amal-amal shalih kalian.


وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ


Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,” yaitu carilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan yang diridhai-Nya.

Firman-Nya :

وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ


Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,” artinya al-qurbah , maksudnya seperti yang dikatakan oleh Imam Qatâdah rahimahullah,


تَقَرَّبُوْا إِلَيْهِ بِطَاعَتِهِ وَالْعَمَلِ بِمَا يُرْضِيْهِ.


“Hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taat kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.”[1]


al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini, “Allâh Azza wa Jalla berfirman untuk memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman agar bertakwa kepada-Nya. Lafazh ketakwaan apabila disertai ketaatan kepada-Nya, maksudnya yaitu tindakan menghindari segala hal yang haram dan meninggalkan semua larangan. Setelah itu, Allâh Azza wa Jalla berfirman,


وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ


“Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya.”


Imam Qatâdah berkata, “Artinya, hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla , dengan menaati dan mengerjakan segala yang diridhai-Nya.” (Mengenai al-wasîlah ini), Imam Ibnu Zaid rahimahullah membaca ayat,


أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ


"Orang-orang yang kamu seru itu, mereka sendiri mencari jalan (wasilah) kepada Rabb mereka.” [Al-Isrâ’/17:57]


Itulah yang dikemukakan oleh para imam yang di dalamnya tidak terdapat perbedaan pendapat di antara ahli tafsir.


Wasîlah adalah sarana yang mengantarkan pada pencapaian tujuan. Wasîlah juga merupakan isim ‘alam (nama tempat) untuk tempat yang berada paling tinggi di Surga, yang merupakan kedudukan dan tempat tinggal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Surga. Itulah tempat di Surga yang paling dekat dengan ‘Arsy. Dalam Shahîh al-Bukhâri telah ditegaskan melalui jalan Muhammad bin al-Munkadir, dari Jâbir bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


مَنْ قَالَ حِيْنَ يَسْمَعُ النِّدَاءَ: اللَّهُمَّ رَبَّ هَذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ وَالصَّلَاةِ الْقَائِمَةِ آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُودًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ إِلَّا حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.


Barang siapa setelah mendengar seruan adzan mengucapkan, ‘Ya Allâh, Rabb pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan ini, karuniakanlah kepada Muhammad wasilah dan keutamaan, serta anugerahkanlah kepadanya tempat terpuji yang telah Engkau janjikan kepada-Nya.’ Maka, ia berhak mendapatkan syafaat pada hari Kiamat kelak. [2]


Dalam Shahîh Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Ka’ab bin ‘Alqamah, dari ‘Abdurrahmân bin Jubair, dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin a-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwa ia pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِذَا سَمِعْتُمْ الْمُؤَذِّنَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ، ثُمَّ صَلُّوْا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا، ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ، فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ لَا تَنْبَغِيْ إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللهِ، وَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَنَا هُوَ، فَمَنْ سَأَلَ لِيَ الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ.


Jika kalian mendengar seruan muadzin, maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya, lalu bershalawatlah kepadaku. Karena sesungguhnya barang siapa bershalawat kepadaku satu kali, Allâh akan bershalawat kepada-Nya sebanyak sepuluh kali. Kemudian mohonkanlah wasilah (derajat di Surga) untukku, karena sesungguhnya wasilah itu merupakan kedudukan di surga yang tidak diperuntukkan kecuali bagi salah seorang hamba dari hamba-hamba Allâh . Aku berharap orang itu adalah aku. Barang siapa memohonkan wasilah untukku, maka ia berhak mendapatkan syafaatku.[3]


Firman-Nya :


وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Dan berjihadlah di jalan-Nya supaya kamu mendapat keberuntungan.”


Setelah Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk meninggalkan semua yang haram dan berbuat ketaatan, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan mereka untuk memerangi semua musuh dari kalangan orang kafir dan musyrik yang keluar dan meninggalkan agama yang lurus. Allâh Azza wa Jalla mendorong mereka dengan apa yang Dia Azza wa Jalla janjikan bagi para mujahid di jalan-Nya pada hari Kiamat kelak, berupa kemenangan dan kebahagiaan yang besar lagi abadi. Kemenangan dan kebahagiaan yang tidak berubah dan tidak sirna. Di dalam ruangan-ruangan yang tinggi dan penuh rasa aman, pemandangan yang menyenangkan, tempat tinggal yang sangat bagus. Orang yang menempatinya akan benar-benar menikmati tanpa berputus-asa, terus hidup dan tidak mati, pakaiannya tidak pernah usang, dan masa mudanya pun tidak pernah berakhir.[4]


Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah berkata tentang tafsir ayat ini, “Ayat ini merupakan perintah dari Allâh Azza wa Jalla untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, tercakup di dalamnya iman, termasuk takwa kepada Allâh Azza wa Jalla dan berhati-hati dari adzab dan murka Allâh Azza wa Jalla . Dan semua itu (dapat direalisasikan) seorang hamba dengan bersungguh-sungguh, mencurahkan segenap kemampuan yang bisa dicapainya dalam menjauhi perkara yang dimurkai Allâh Azza wa Jalla , seperti maksiat hati, lisan, anggota badan, yang tampak maupun yang tersembunyi. Dan seorang hamba hendaklah memohon kepada Allâh Azza wa Jalla untuk dapat meninggalkan maksiat tersebut agar selamat dari adzab Allâh Azza wa Jalla .


Firman-Nya :


وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ


“Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,”


Yaitu yang dekat dari-Nya, keutamaan di sisi-Nya, dan cinta kepada-Nya. Itu semua dihasilkan dengan melaksanakan amalan-amalan hati, seperti cinta kepada Allâh Azza wa Jalla , cinta karena Allâh Azza wa Jalla , takut, harap, taubat, dan tawakkal kepada-Nya. Dan amalan-amalan badan seperti zakat dan haji. Juga amalan-amalan yang mencakup hati dan anggota tubuh seperti shalat, membaca al-Qur`ân, dzikir, berbuat baik kepada makhluk dengan harta, ilmu, kedudukan, anggota tubuh, dan saling menasehati. Semua amalan ini mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan seorang hamba senantiasa mendekatkan diri kepada Allâh dengan amalan-amalan tersebut sampai Allâh mencintainya….. Kemudian Allâh Azza wa Jalla mengkhususkan ibadah yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla , yaitu mencurahkan segenap kemampuan dalam memerangi orang-orang kafir, dengan harta, jiwa, akal, lisan, dan berusaha menolong agama Allâh Azza wa Jalla dengan segala kemampuan yang dimiliki seorang hamba, karena jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla adalah ketaatan yang paling mulia dan pendekatan diri (kepada Allâh Azza wa Jalla ) yang paling utama.


لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ


“Supaya kamu mendapat keberuntungan.”


Jika kalian bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla , dengan meninggalkan maksiat, mencari wasîlah yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengerjakan ketaatan, berjihad di jalan-Nya, dan mencari keridhaan-Nya. Al-Falâh ialah kesuksesan dan kemenangan dengan semua yang dituntut dan disukai, dan keselamatan dari semua yang ditakuti. Jadi, hakekat al-falâh adalah kebahagiaan yang abadi dan kenikmatan yang kekal.”[5]


Seluruh Sahabat, Tabi’in dan para Ulama mufassirin menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :


وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ


Dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya,” dengan al-qurbah , maksudnya seperti yang dikatakan oleh Imam Qatâdah rahimahullah, “Hendaklah kalian mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taat kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.”[6]


Jadi, wasîlah dalam ayat ini bukan wasîlah dan tawasul yang diartikan oleh sebagian kaum Muslimin yang mengartikan tawasul dengan orang mati, atau tawasul dengan orang shalih yang sudah meninggal. Ini perbuatan tawasul yang dilarang dan ini adalah syirik.


Tawasul dalam ayat di atas memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dan bersegera melakukan amal-amal shalih yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan apa-apa yang dilarang oleh Allâh Azza wa Jalla .


Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mendekat diri kepada-Nya dengan melakukan amal-amal shalih, seperti ikhlas, tawakkal, takut, berharap hanya kepada Allâh Azza wa Jalla , mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , menjauhkan segala macam bentuk kesyirikan, melaksanakan shalat, zakat, sedekah, puasa, haji, silaturrahim, menolong orang-orang yang susah, daan lainnya.


FAWAID AYAT

1. Wajib bertakwa kepada Allâh Azza wa Jalla .

2. Takwa seperti yang disebutkan oleh Imam Thalq bin Habîb rahimahullah adalah engkau melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla berdasarkan cahaya dari Allâh Azza wa Jalla karena mengharap pahala dari-Nya, dan engkau meninggalkan segala bentuk kemaksiatan kepada-Nya berdasarkan cahaya dari-Nya karena takut terhadap siksa-Nya.[7]


3. Takwa adalah melaksanakan perintah-perintah Allâh Azza wa Jalla dan menjauhi larangan-Nya.


4. Disyariatkan untuk tawasul kepada Allâh Azza wa Jalla , yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.


5. Yang dimaksud dengan tawasul dalam ayat ini adalah mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan taat kepada-Nya dan melakukan amal shalih yang diridhai-Nya.


6. Tawasul yang paling besar (agung) adalah dengan mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan menjauhkan syirik.


7. Bertawasul (meminta keperluan atau hajat) dengan orang yang sudah mati adalah syirik besar.


8. Diperintahkan untuk berjihad di jalan Allâh Azza wa Jalla .


9. Jihad adalah ibadah dan wajib dilaksanakan menurut syarat dan kaidah yang telah ditetapkan oleh al-Qur`ân dan Hadits.


10. Keberuntungan akan tercapai dengan ilmu, tauhid, iman, amal shalih, dan jihad di jalan Allâh Azza wa Jalla .


Wallâhu a’lamu bis shawâb.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

_______
Footnote
[1]. Diringkas dari Tafsîr at-Thabari (IV/566-567), Dârul Kutub al-‘Ilmiyyah Beirut Cet. I, Thn. 1412 H.
[2]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (Fathul Bâri, II/94, no. 614), Abû Dâwud (no. 529), at-Tirmidzi (no. 211), an-Nasâi (II/26-27) dan Ibnu Mâjah no. 722.
[3]. Shahîh: HR. Muslim no. 384, Abû Dâwud no. 523, at-Tirmidzi no. 3614, dan an-Nasâi II/25, lafazh ini milik Muslim.
[4]. Diringkas dari Tasfîr Ibni Katsîr III/103-105, tahqîq Sami Muhammad as-Salâmah, Cet.IV, Thn. 1428 H, Dâr at-Thaibah.
[5]. Taisîrul Karîmir Rahmân fî Tafsîri Kalâmil Mannân, hlm. 218-219, Maktabah al-Ma’ârif, cet.1, th. 1420 H.
[6]. Tafsîr at-Thabari IV/567 Cet.I, Thn.1412 H.
[7]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh ‘Abdullâh Ibnul Mubârak dalam az-Zuhd no. 1054, Hannâd dalam az-Zuhd no. 522, Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no. 30878, 36169), dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ III/75, no. 3220. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni dalam takhrij Kitâbul Imân no. 99, karya Ibnu Abi Syaibah. Lihat juga Risâlah at-Tabûkiyyah hlm. 43-44 karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.

Nikah Dengan Orang Kafir

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi Lc


Pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membangun keluarga dalam naungan cinta. Keluarga adalah bagian kecil dari masyarakat yang harus disiapkan untuk membentuk masyarakat yang baik. Karena itulah Islam memberikan perhatian dalam mewujudkan faktor pendukung terciptanya hal ini. Bentuk perhatian ini dapat terlihat dari hukum syariat yang ditetapkan dalam membangun keluarga, nasehat, anjuran serta bimbingan dalam mewujudkan kehidupan yang baik.


Percampuran kaum muslimin dengan kafir dewasa ini adalah sesuatu yang tidak bisa dielakkan, karena kepentingan di antara mereka sangat berkait akibat adanya pergaulan bebas. Tentunya hal ini dapat mengakibatkan munculnya hubungan yang terus menerus dan saling mempengaruhi di antara mereka.


Berkait dengan interaksi antar umat beragama, Islam memiliki aturan yang sempurna. Aturan ini dapat menjaga keselamatan aqidah dan kepribadian umatnya, secara umum ataupun individu. Peraturan ini harus diterapkan oleh kaum muslimin demi menyelamatkan diri dan lingkungan dari kerusakan dan kesengsaraan.


Penerapan aturan ini menjadi semakin penting seiring dengan sedikitnya kaum muslimin yang mengerti syari’at serta gencarnya propaganda pluralisme yang mengusung pemikiran bahwa semua agama itu sama. Jika tidak diterapkan, lambat laun aqidah al-Walâ’(setia kepada kaum muslimin) wal Barâ (membenci orang-orangkafir) yang merupakan salah satu pokok aqidah Islam, akan terkikis habis.


Di antara fenomena yang menunjukkan aqidah al-Walâ’ dan al Barâ ini mulai luntur dari hati sebagian kaum muslimin dan perlu mendapatkan perhatian yaitu berlangsungnya pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan non muslim (baca kafir) di masyarakat kita. Peristiwa tragis ini terjadi, mungkin karena ketidak tahuan si pelaku terhadap ajaran Islam tentang masalah ini atau ada yang sengaja mengaburkan ajaran Islam demi memuluskan penyebaran pemikiran pluralismenya. Oleh karena itu, aturan Islam tentang masalah ini perlu dijelaskan.


SIAPAKAH ORANG KAFIR ITU?

Orang kafir dalam syariat Islam adalah sebutan untuk umat non muslim yang terdiri dari kaum musyrikin dan ahli kitab, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنفَكِّينَ حَتَّىٰ تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ


"Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" [al-Bayyinah/ 98:1]


Oleh karena itu, saat membicarakan hukum pernikahan dengan orang kafir berarti mencakup hukum pernikahan dengan kaum musyrikin dan pernikahan dengan ahli kitab.


MENIKAHI WANITA MUSYRIK

Seorang muslim dilarang menikahi wanita musyrik baik merdeka maupun budak. Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ


"Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Dan sungguh wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu" [al-Baqarah/2:221][1]


Hal ini juga ditegaskan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ


"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir" [al-Mumtanah/ 60:10]


Sehingga setelah Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat ini Umar bin al-Khatthab Radhiyallahu 'anhu menceraikan dua istri beliau Radhiyallahu 'anhu yang dinikahinya ketika masih musyrik.[2]


Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa wanita dan sembelihan semua orang kafir selain ahli kitab seperti orang yang menyembah patung, batu, pohon dan hewan yang mereka anggap baik, haram (bagi kaum muslimin).[3]


MENIKAHKAHKAN WANITA MUSLIMAH DENGAN ORANG KAFIR

Kaum muslimin dilarang menikahkan wanita muslimah dengan semua orang kafir baik orang Yahudi, Nashrani, penyembah berhala (paganis) atau lainnya. Karena mereka tidak diperbolehkan menikahi wanita muslimah walaupun muslimah tersebut seorang fasiq. Allah Azza wa Jalla berfirman :

وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ


"Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran".[al-Baqarah/2:221]


Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn rahimahullah menyatakan : Maknanya adalah janganlah kalian menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min-red) hingga mereka beriman.[4]


Hal ini juga dipertegas dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka". [al-Mumtahanah/60:10]


Syaikh Muhammad al-Amîn asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan : “Ayat ini berisi pengharaman kaum mukminat bagi orang-orang kafir.” [5]


Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang untuk mempertahankan status pernikahan kaum mukminat dengan orang kafir. Bila status pernikahan yang sudah terjadi saja harus diputus, maka tentu lebih tidak boleh lagi bila memulai pernikahan baru.


Sedangkan secara logika tentang pelarangan ini, syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn menyatakan : “Adapun dalil nazhari (dalil akal), karena tidak mungkin seorang muslimah itu akan menjadi baik di bawah kekuasaan suami yang kafir padahal suami adalah sayyid (pemimpin), sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala.


وَاسْتَبَقَا الْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُ مِن دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَى الْبَابِ


"Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan kedua-duanya menjumpai suami (sayyid) wanita itu di depan pintu". [Yusuf/12:25]


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :


اتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّهُنَّ عَوَانٌ عَلَيْكُمْ


"Bertakwalah kepada Allah dalam urusan wanita, karena mereka adalah tawanan kalian".[6]


MENIKAHI WANITA AHLI KITAB

Allah Subhanhu wa Ta'ala telah melarang seorang muslim menikahi wanita musyrik secara umum dalam surat al-Baqarah ayat 221 di atas, namun Allah Azza wa Jalla mengecualikan larangan menikahi wanita ahli kitab dalam firman-Nya:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ


"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikanAl-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan kaum mukminat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik". [al-Mâidah/5:5]


Imam Abu Ja’far ath-Thabari rahimahullah menyatakan: “Pendapat yang paling rajih tentang tafsir ayat (221 dari al-Baqarah –pen-) adalah pendapat Qatâdah rahimahullah yang menyatakan bahwa yang dimaksudkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam firmanNya:


وَلَا تَنكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ


"(Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman)", adalah wanita musyrik selain ahli kitab. Secara zhahir ayat ini bersifat umum. namun kandungannya bersifat khusus, tidak ada yang dimansukh (dihapus) sama sekali. Dan wanita ahli kitab tidak termasuk didalam ayat di atas, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalalkan bagi kaum muslimin untuk menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan dari ahli kitab dengan firman-Nya:


وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ


"(dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu,)" sebagaimana Allah Azza wa Jalla menghalalkan wanita-wanita mukminat yang menjaga kehormatan [7]


Dengan dasar ayat ini para ulama membolehkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab yang merdeka. Imam Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan : “Tidak ada perselisihan di antara para ulama tentang kehalalan wanita merdeka ahli kitab. Di antara yang diriwayatkan (menikahi mereka) adalah Umar bin al-Khathab Radhiyallahu 'anhu, Utsmân Radhiyallahu 'anhu [8], Thalhah Radhiyallahu anhu, Hudzaifah Radhiyallahu 'anhu [9], Salmân Radhiyallahu 'anhu, Jâbir Radhiyallahu 'anhu [10] dan yang lainnya.


Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Tidak ada riwayat shahih dari seorangpun ulama generasi pertama yang mengharamkan wanita ahli kitab yang merdeka.[11]


MENGAPA WANITA MUSLIMAH DILARANG MENIKAH DENGAN ORANG KAFIR SEDANGKAN LELAKI MUSLIM DIPERBOLEHKAN MENIKAHI WANITA KAFIR AHLI KITAB?


Pertanyaan ini dijawab dari dua sisi :

1. Islam itu tinggi dan tidak boleh direndahkan. Kepemimpinan dalam rumah tangga ada pada suami karena statusnya sebagai seorang lelaki walaupun setara dalam akad. Sebab kesetaraan tidak dapat menghilangkan perbedaan yang ada, sebagaimana dalam perbudakan. Apabila seorang lelaki memiliki budak wanita maka ia boleh menggaulinya dengan sebab perbudakan tersebut. Sedangkan wanita apabila memiliki budak lelaki maka tidak boleh berhubungan intim dengannya. Ditambah juga karena kepemimpinan lelaki atas wanita dan anak-anaknya padahal ia kafir tentunya agama sang wanita dan anak-anaknya tidak selamat dari pengaruhnya.

2. Islam itu sempurna sementara yang lain tidak. Maka dibangun di atas hal ini perkara sosial yang memiliki hubungan erat dalam tatanan rumah tangga. Seorang muslim apabila menikahi wanita ahli kitab maka ia beriman kepada kitab suci dan rasul wanita tersebut. Sehingga sang suami akan tinggal bersama istrinya ini dengan didasari penghormatan kepada agama sang istri secara garis besar. Lalu terjadilah di sana kesempatan untuk saling memahami dan bisa jadi mengantar wanita tersebut masuk Islam dengan konsekwensi kandungan kitab sucinya. Adapun bila seorang kafir ahli kitab menikahi wanita muslimah, ia tetap tidak beriman kepada agama wanita tersebut. Sehingga ia tidak menghormati prinsip dan agama istrinya. Dan tidak ada kesempartan untuk saling memahami pada perkara yang ia sendiri tidak mengimaninya. Karena itulah pernikahan ini dilarang.


SIAPAKAH WANITA AHLI KITAB YANG DIMAKSUD?

Mayoritas ulama menafsirkan kata al-Muhshanât dalam ayat ini dengan wanita yang menjaga kehormatannya dan dengan dasar ini sebagian ulama membolehkan pernikahan wanita ahli kitab yang menjaga kehormatannya baik merdeka ataupun budak.

Sedangkan yang dimaksud dengan ahli kitab di sini adalah orang Yahudi dan Nashrani (Kristen).


Namun yang perlu diingat di sini seorang muslim yang ingin menikahi wanita ahli kitab karena keadaan tertentu haruslah memiliki aqidah yang kokoh, mengerti hukum-hukum syari’at dan komitmen mengamalkan dan mematuhi hokum dan syiar Islam. Perlu diingat bahwa menikahi wanita ahli kitab mengandung banyak resiko terhadap aqidah sang lelaki ataupun nantinya berpengaruh pada agama anak keturunannya. Kenyataannya sudah jelas dan banyak terjadi, berapa banyak keluarga yang hancur agamanya dengan sebab ibunya seorang ahli kitab. Oleh karena itu sebaiknya ingat kembali kepada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ


"Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya, maka ambillah yang memiliki agama (baik), kamu akan beruntung" [HR al-Bukhari].


Nikahilah wanita muslimah yang taat beragama! Itu lebih baik bagi anda.

Wabilahi taufiq.

Referensi:

1. Syarhu al-Mumti’ ‘Ala Zâd al-Mustaqni’ karya syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn
2. Al-Mughni karya Ibnu Qudâmah
3. Jâmi’ ahkâm an-Nisâ` karya syaikh Musthafa al-’Adawi
4. Fath al-Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâri karya Ibnu Hajar al-‘Asqalâni.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]

_______
Footnote
[1]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 12/146
[2]. Lihat kisahnya diriwayatkan dalam Shahîh al-Bukhâri –lihat Fath al-Bâri 5/322
[3]. Lihat al-Mughnî 9/548
[4]. Syarhu al-Mumti’ 12/145
[5]. Adhwâ’ al-Bayân 8/163
[6]. Syarhu al-Mumti’ 12/145. Hadits yang beliau sampaikan ini ada dalam sunan at-Tirmidzi dengan lafazh :
أَلَا وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ
Ketahuilah berbuat baiklah pada wanita karena mereka adalah tawanan disisi kalian. (HR at-Tirmidzi no. 1163 dan beliau berkata : Hadits hasan shohih. Juga diriwayatkan ibnu Majah no. 1851)
[7]. Lihat jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/118
[8]. Diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad dha’îf sebagaimana disampaikan syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/123
[9]. Diriwayatkan Sa’id bin Manshûr dan dinilai shahih oleh syaikh Musthafa al-‘Adawi dalam Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
[10]. Diriwayatkan imam asy-Syâfi’i dalam al-Umm dan dinyatakan syaikh Musthafa al-‘Adawi : Para perawinya tsiqah. (lihat Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/122
[11]. Al-Mughni 9/545
[12]. Diambil dari Jâmi’ Ahkâm an-Nisâ` 3/120 dengan sedikit perubahan.

Selasa, 04 Maret 2014

ALASAN BERDOA KEPADA ORANG YANG TELAH MATI DAN BANTAHAN-NYA

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari



Doa termasuk ibadah terbesar yang menghubungkan seorang hamba dengan Penciptanya. Orang yang berdo'a kepada Allâh Azza wa Jalla memiliki sifat-sifat ketundukan, merendehkan diri, dan berlindung kepada Dzat yang menguasai dan mengatur segala urusan.


Karena do'a memiliki kedudukan tinggi, maka Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para hamba-Nya untuk berdo'a secara langsung kepada-Nya dan Allâh Azza wa Jalla juga berjanji akan mengabulkan-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan agar para hamba-Nya berdo'a kepada-Nya dengan menggunakan wasilah atau perantara penyebutan nama-nama-Nya al-Husnâ (yang maha indah). Allâh Azza wa Jalla berfirman :


وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ فَادْعُوهُ بِهَا


Hanya milik Allâh al-asmâ-ul husna [Nama-nama yang Maha Indah], maka berdo'alah kepada--Nya dengan menyebut al-asmâ-ul husna itu . [Al-A’raf/7: 180]


Demikian juga Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengidzinkan para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya dengan menggunakan wasilah atau perantara ‘dengan menyebutkan iman atau amal shalihnya’, atau dengan perantara ‘doa orang shalih yang masih hidup’, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits yang shahih.


Tetapi sebagian orang sekarang meninggalkan wasilah atau perantara yang disyari’atkan oleh Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, kemudian menggunakan wasilah (perantara) yang tidak dituntunkan, bahkan sebagiannya masuk dalam kategori perbuatan syirik. Seperti berdo'a meminta kepada orang-orang yang sudah mati, baik ia seorang Nabi, wali, orang shalih, atau lainnya. Mereka memiliki berbagai macam syubhat (kerancuan/kesamaran) di dalam mendukung perbuatan mereka ini.


Maka sebagai bentuk saling menasehati sesama kaum Muslimin, dan amar ma’ruf serta nahi mungkar, kami akan sebutkan sebagian dari syubhat tersebut dan sekaligus bantahannya. Mengingat syubhat-syubhat itu begitu banyak sementara halaman terbatas, maka kami hanya menyampaikan beberapa syuhbat saja. Adapun bantahan semua syubhat itu sudah ditulis oleh para ulama Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dahulu maupun sekarang. Semoga tulisan menjadi penerang dalam meniti jalan kebenaran.


Inilah diantara syubhat tersebut :


1. Berdo'a kepada orang-orang shalih dan istighâtsah kepada mereka, bukan sebentuk ibadah kepada mereka, tetapi ini tawassul dengan mereka (menjadikan mereka sebagai wasilah).


Jawaban :

Perkataan mereka ini bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas dan gamblang yang menamakan doa permintaan sebagai ibadah. Di antara-Nya adalah firman Allâh Azza wa Jalla :

قُلْ أَرَأَيْتَكُمْ إِنْ أَتَاكُمْ عَذَابُ اللَّهِ أَوْ أَتَتْكُمُ السَّاعَةُ أَغَيْرَ اللَّهِ تَدْعُونَ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ﴿٤٠﴾بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ


Katakanlah, "Terangkanlah kepadaku jika datang siksaan Allâh kepadamu, atau datang kepadamu hari kiamat, apakah kamu berdoa (menyeru (tuhan) selain Allâh; jika kamu orang-orang yang benar!" (Tidak), tetapi ha-Nya Dialah yang kamu seru, maka Dia akan menghilangkan bahaya yang karena-Nya kamu berdoa kepada-Nya, jika Dia menghendaki. Dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allâh). [al-An’âm/6:40-41]


Kata doa dalam ayat ini adalah doa permintaan. Ini nampak jelas dari rangkaian kalimat dalam ayat ini, sebagaimana ditunjukkan kalimat “maka Dia akan menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepada-Nya”, karena menghilangkan bahaya adalah bentuk pengabulan doa.


Juga firman Allâh Azza wa Jalla.


وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ﴿١٣﴾إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ


"Dan orang-orang yang kamu berdoa (menyeru/sembah) selain Allâh tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu berdoa atau menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. [Fâthir/35: 13-14]


Ayat ini membicarakan tentang tidak mendengar-Nya tuhan-tuhan musyrikin terhadap doa orang-orang yang berdoa kepada mereka, maka jelas bahwa doa di sini adalah doa permintaan.


Oleh karena itu bahwa doa merupakan ibadah. Hal ini juga dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan di dalam hadits di bawah ini:


عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ : وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ


Dari Nu’man bin Basyir, dia berkata: Aku telah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa adalah ibadah”, kemudian beliau membaca (firman Allâh) ((Dan Robbmu berfirman: "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguh-Nya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadahah kepadaKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".)) (al-Mukmin/40:60) [HR. Tirmidzi, no: 3247; Ahmad 4/267; Bukhari di dalam Adabul Mufrad, no: 1757. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albâni]


Karena doa merupakan ibadah, maka barangsiapa berdoa kepada selain Allâh berarti dia telah melakukan kesyirikan. Allâh Azza wa Jalla memberitakan dengan tegas dan jelas bahwa berdoa kepada selain-Nya merupakan kesyirikan, dan menghukumi pelakunya sebagai orang musyrik dan kafir.


Allah Azza wa Jalla berfirman.


إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ ۚ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ


"Jika kamu menyeru mereka (siapa saja selainAlloh-pen), mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu.Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui. [Fathir/35:14]

Allâh Azza wa Jalla juga berfirman :

وَمَنْ يَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ لَا بُرْهَانَ لَهُ بِهِ فَإِنَّمَا حِسَابُهُ عِنْدَ رَبِّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُفْلِحُ الْكَافِرُونَ


Dan barangsiapa berdoa kepada ilah yang lain di samping Allâh, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Robbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung. [al-Mukminun/23:117]


Adapun menamakan perbuatan berdoa kepada orang-orang yang telah mati dengan nama tawassul, maka ini merupakan sebentuk tipu daya syaithan dalam menyesatkan manusia.


Karena tawassul dalam berdoa kepada Allâh, ada yang masyru' (disyari'atkan oleh Allâh dan Rasul-Nya). Seperti berdoa kepada Allâh dengan menyebut nama-nama-Nya Yang Maha Indah.


Ada juga tawassul yang mamnu’ (terlarang) dan merupakan kemusyrikan. Seperti berdoa kepada Nabi atau para wali atau lain-Nya dengan harapan mereka akan me-Nyampaikan doa itu kepada Allâh.


Dan ada juga yang mamnu’ (terlarang) dan merupakan bid’ah. Seperti berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla dengan perantara jâh (kedudukan/kemuliaan) seorang Nabi atau wali atau lainnya.


Maka menamakan perbuatan syirik dengan tawassul, atau tabarruk, atau mencari syafa’at, adalah penamaan yang batil dan sia-sia. Karena perubahan nama tidak mengubah hakekatnya. Bagi orang berakal yang menginginkan keselamatan dalam kehidupannya maka hendaknya mencukupkan dengan perkara yang disyari’atkan, dan meninggalkan perkara yang dilarang.


2. Nash-nash yang melarang berdoa kepada selain Allâh maksudnya melarang berdoa kepada patung-patung, karena itulah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik. Adapun orang-orang yang berdoa kepada orang-orang shalih, bukan orang-orang musyrik.


Jawabannya :

Sesungguhnya orang-orang musyrik jahiliyah dahulu tidak hanya berdoa kepada patung, tetapi juga berdoa kepada makhluk yang berakal, seperti malaikat, jin, nabi, dan orang yang shalih.

Allah Azza wa Jalla berfirman.


قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا﴿٥٦﴾أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا


"Katakanlah, "Berdoa-lah kepada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allâh, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya." Orang-orang yang mereka berdoa kepada-Nya itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allâh) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya adzab Rabbmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [al-Isra’/17:56-57]


Ayat ini -tidak diragukan- memberitakan bahwa tuhan-tuhan yang disembah dan dijadikan tempat berdoa oleh orang-orang musyrik adalah makhluk yang berakal. Ini terlihat jelas dari sifat-sifat tuhan yang disembah itu. Perhatikanlah sifat-sifatnya berikut ini :


• Mencari jalan menuju Rabb mereka, yaitu beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla .

• Mengharapkan rahmat-Nya
• Dan takut terhadap adzab-Nya.

Oleh karena itu “tuhan-tuhan" yang disembah oleh orang-orang musyrik itu bisa jadi lebih dekat kepada Allâh Azza wa Jalla daripada orang-orang musyrik yang menyembah mereka.


Para Ulama ahli tafsir berbeda pendapat tentang siapa mereka yang disembah oleh manusia itu :


1. Diriwayatkan dari perkataan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu , bahwa mereka adalah para jin yang disembah oleh manusia, lalu para jin itu masuk Islam sedangkan manusia tidak menyadarinya dan tetap menyembah mereka. [HR. Bukhari, no. 4714; Muslim, no. 3030]


2. Diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud Rahiyallahu anhu, dan Abdurrahman bin Zaid rahimahullah, bahwa mereka adalah para malaikat yang disembah oleh manusia. [HR. Thabari, 14/630]


3. Diriwayatkan dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu, dan Mujâhid rahimahullah , bahwa mereka adalah ‘Uzair, Nabi Isa Alaihissallam, Ibunda Nabi ‘Isa Alaihissallam, dan para malaikat. [HR. Thabari, 14/630]


Semua penafsiran dari Salaf di atas tidak bertentangan, karena ayat tersebut mencakup semuanya dan karena yang dinilai adalah keumuman lafazh, bukan kekhususan sebab. Alasan lainnya adalah orang yang menafsirkan dengan malaikat atau jin, tidak bermaksud mengkhususkannya, tetapi itu hanya semata-mata sebagai contoh. Dengan keterangan ini,nampak jelas bahwa orang-orang musyrik tidak hanya menyembah kepada patung, tetapi juga menyembah kepada makhluk yang berakal.


Selain itu, penyembahan terhadap patung yang dilakukan oleh banyak orang sesungguhnya bukan karena dzat patung itu, tetapi patung itu dianggap sebagai simbol dari tuhan ghaib yang mereka yakini dan atau mereka jadikan patung-patung itu sebagai perantara kepada Allâh Azza wa Jalla.


Ar-Razi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa maksud ayat ini adalah bantahan terhadap orang-orang musyrik. Kami telah jelaskan bahwa kaum musyrik zaman dahulu mengatakan, ‘Kita tidak pantas menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , maka kita menyembah kepada hamba-hamba Allâh yang dekat dengan-Nya, yaitu para malaikat’. Kemudian mereka membuat patung malaikat tersebut dan menyembahnya dengan dilandasi pemikiran tersebut. Maka Allâh Azza wa Jalla membantah kebatilan perkataan mereka dengan ayat ini, yaitu Allâh berfirman :


قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُونِهِ


‘Berdoa-lah kepada mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allâh’,


Yang dimaksudkan bukanlah patung-patung, karena Allâh berfirman tentang sifat mereka : ‘Orang-orang yang mereka berdoa kepada-Nya itu, mereka sendiri mencari jalan menuju Rabb’. Dan ‘mencari jalan menuju Allâh Azza wa Jalla ’ sama sekali tidak dilakukan oleh patung”. [Tafsîr ar-Râzi, 20/232]


Ar-Razi rahimahullah juga berkata, “Sesungguhnya orang yang berakal tidak akan menyembah patung hanya karena patung itu terbuat dari kayu atau batu. Tetapi mereka menyembahnya karena keyakinan bahwa patung-patung itu merupakan patung-patung bintang-bintang, atau roh-roh langit, atau patung para Nabi dan orang-orang shalih yang telah meninggal. Dan maksud mereka di dalam penyembahan kepada patung-patung itu adalah mempersembahkan ibadah-ibadah itu kepada perkara-perkara itu (tuhan-tuhan ghoib-pen) yang mereka jadikan patung-patung itu sebagai gambar-gambar (simbol-simbol) untuk-Nya”. [Tafsir Ar-Razi, 26/241]


Dengan penjelasan ini dapat diketahui bahwa berdoa kepada selain Allâh, baik kepada malaikat, jin, Nabi, wali, pohon, binatang, batu, atau lainnya, merupakan perbuatan syirik, menyekutukan Allâh k . Karena doa adalah ibadah, dan ibadah adalah hak Allâh semata.


3. Khawarij telah menerapkan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik terhadap kaum Muslimin. Demikian juga kamu (yang menuduh kaum Muslimin yang berdoa kepada orang-orang shalih sebagai orang-orang musyrik) menerapkan ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik terhadap kaum Muslimin.


Jawaban :

Untuk menjawab syubhat ini perlu diperhatikan beberapa perkara:

Pertama:

Hukum-hukum al-Qur’ân berlaku umum sampai hari kiamat walaupun berkaitan dengan sebab yang khusus. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً ۖ قُلِ اللَّهُ ۖ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ ۚ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ


Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah, "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan al-Qur'ân ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur'an (kepadanya). [al-An’âm/6: 19]


Imam al-Baghawi rahimahullah berkata, “Dan al-Qur'ân ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur'an (kepadanya)." supaya dengannya aku mengancam kamu wahai penduduk Mekah, ‘dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur'ân (kepadanya)’, yaitu orang-orang yang telah sampai kepadanya al-Qur'ân, baik non Arab maupun umat-umat lain sampai hari kiamat”. [Tafsir al-Baghawi, 3/133]


Oleh karena itu dalam kaedah ushul fiqih disebutkan :


الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ


Penilaian adalah dengan keumuman lafazh, bukan dengan khususnya sebab.


Yaitu bahwa nash-nash umum yang datang dengan sebab-sebab yang khusus, hukumnya tetap berlaku umum sampai hari kiamat.


Kedua:

Berdasarkan point di atas, maka barangsiapa melakukan perbuatan kaum musyrik zaman dahulu, seperti berdoa kepada Nabi, wali, atau orang shalih, selain berdoa kepada Allâh, maka tidak ada halangan menerapkan ayat-ayat yang turun berkenaan orang-orang musyrik zaman dahulu terhadap orang-orang di zaman sekarang yang melakukan perbuatan serupa.

Karena perbuatan mereka sama, yaitu syirik, maka hukumnya juga sama, namun menetapkan vonis kafir terhadap orang Mukmin tertentu yang terjatuh dalam dosa syirik, harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan tidak ada penghalang, sebagaimana penjelasan para Ulama Ahlus Sunnah.


Ketiga:

Kalau ayat-ayat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik zaman dahulu tidak boleh diterapkan terhadap orang-orang zaman sekarang, padahal perbuatan mereka sama, maka ini akan membawa konsekwensi yang sangat tidak benar. Yaitu bahwa seluruh hukum syari’at Islam tidak berlaku lagi di zaman ini, karena semua hukum turun dengan sebab khusus pada permasalahan yang telah lewat. Tentu hal ini tidak akan dikatakan oleh orang yang beriman.

Keempat:

Adapun menyamakan para da’i tauhid dengan Khawarij, maka ini adalah qiyas ma’al fariq (menyamakan sesuatu yang tidak sama).

Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma menjelaskan sifat Khawarij dengan mengatakan, "Mereka menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang kafir, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin." [Riwayat Imam Bukhari dengan tanpa sanad, dan disebutkan sanadnya oleh imam Thabari dengan sanad yang shahih]


Marilah kita memperhatikan salah satu manhaj Khawarij, lalu kita bandingkan dengan perbuatan para da’i tauhid, sehingga akan menjadi jelas perbedaan antara dua kelompok tersebut.


Sesungguhnya di antara kayakinan Khawarij –kecuali firqah Najdât dari mereka- adalah mengkafirkan pelaku dosa besar dan pelaku dosa besar ini akan kekal di neraka. Dengan dasar keyakinan ini, mereka di zaman dahulu menjatuhkan vonis kafir terhadap khalifah Utsmân Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu serta orang-orang yang membelanya, karena dianggap telah menetapkan hukum dengan selain apa yang Allâh turunkan. Oleh karena itu akhirnya mereka memberontak kepada khalifah Utsman Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu . Mereka berdalil dengan firman Allâh:


وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ لَهُمْ لَعَلَّهُمْ يَنْتَهُونَ


Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah para pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti. [at-Taubah/9: 12]


Orang-orang Khawarij memvonis khalifah Utsman Radhiyallahu anhu dan Ali Radhiyallahu anhu sebagai pemimpin orang-orang kafir dari kalangan musyrikin yang merusak sumpah janji mereka dan mencerca agama Allâh. Dengan sikap ini, maka mereka berhak disifati dengan ‘menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang musyrik, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin’.


Adapun para da’i tauhid, apakah mereka menggunakan ayat-ayat yang turun tentang orang-orang musyrik, lalu menerapkannya terhadap orang-orang Mukmin, orang-orang yang bertauhid, orang-orang yang memurnikan ibadah mereka kepada Alah Pencipta langit dan bumi, orang-orang yang meninggalkan kemusyrikan dan bid’ah?


Atau mereka menerapkannya terhadap orang-orang yang menyatakan Islam, namun terjerumus dalam kemusyrikan, seperti berdoa dan meminta tolong kepada para penghuni kubur. Sehingga ada persamaan antara mereka dahulu dengan mereka sekarang, yaitu perbuatan syirik.


Orang yang mengetahui fakta dan obyektif dalam bersikap, dia akan tahu bahwa yang dilakukan oleh para da’i tauhid adalah yang kedua.


Dengan demikian apakah termasuk sikap adil dan obyektif menyamakan perbuatan mereka dengan perbuatan Khawarij yang dilakukan tanpa kebenaran dan dalil syari’at yang bisa diterima ? Maka jelas bahwa para da’i tauhid terbebas dari tuduhan yang tidak benar itu.


Inilah di antara syubhat yang tersebar dan menghalangi umat dari kebenaran dengan sedikit bantahannya. semoga membuka hati kita untuk mengikuti kebenaran. Hanya Allâh Yang Memberi Taufiq.


(Tulisan ini banyak mengambil dari tesis Ustadz Abdullah Zaen Lc, MA yang berjudul Mazhahir al-Inhiraf fi Tauhid al-Ibadah lada Ba'dh Muslimi Indonesia wa Mauqif al-Islam minha)


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XV/1433H/2012M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]