Ketika pelita menampakkan sinarnya di malam kelam, maka laron-laron
berdatangan mencari jalan kehidupan. Mereka menitipkan pesan, agar jalan
yang ditempuh mendapatkan kelapangan. Laron-laron itu merupakan contoh
komunitas awam. Di dalam kegelapan isi dada, mereka datang mencari jalan
penerang kepada orang-orang pilihan, agar jalan yang ditempuh
mendapatkan tuntunan.
Para Ulama zamannya, baik yang tinggal di pesantren maupun di tengah
komunitas manusia, mereka itu bagaikan pelita-pelita yang memancarkan
sinar di pinggir jalan. Mereka menunjukkan jalan, agar kehidupan
laron-laron itu tidak tersesat di tengah jalan.
Demikianlah fenomena, maka cahaya Ilahiyah yang menerangi ufuk dada
sang pelita tersebut tidak diputus di tengah jalan. Datang silih
berganti sepanjang zaman dari rencana tarbiyah azali yang dirahasiakan.
Supaya langkah laron-laron yang kenyang menyerap sinar pelita yang
menjadi ikutan, tidak menjadi kehilangan arah lagi dan kebingungan.
Namun demikian, ketika pelita-pelita itu sudah waktunya harus
dipadamkan, karena masa tugasnya memang harus bergantian, maka
laron-laron itu hendaknya terbang menyebar, membawa seberkas sinar yang
sudah didapatkan, menjadi kunang-kunang yang terbang riang, agar
laron-laron lain ikut dalam rombongan.
Itulah sinar kehidupan, ketika matahari dan bulan sedang malas
menampakkan senyuman, maka gemerlap bintang pun dapat mewujudkan impian.
Jika tidak demikian, maka hantu malam akan menelan pandangan, hingga
laron-laron menjadi kebingungan, jalan ke depan dihantui bayang-bayang.
Terlebih ketika kunang-kunang hanya sibuk mencari makanan, ketika
sudah duduk di kursi mapan bersama rekanan mencari peluang, menjelma
menjadi laba-laba membangun jaringan, menunggu mangsa yang datang
sekedar untuk mengenyangkan perut yang sebenarnya sudah kenyang. Mereka
lupakan ukuran yang harus dimakan dan lupa memberikan kepedulian, meski
kepada teman-teman dalam perjuangan, yang telah bersama-sama berkeringat
mengusung keberhasilan.
Maka setan dan peri malam datang bergentayangan, keluar masuk rumah
dan penginapan, mencari orang-orang yang suka dimabuk harapan, merasuk
sukma membangkitkan impian, hingga kunang-kunang menjadi lupa daratan.
Lupa milik teman lupa milik lawan, asal dapat dimakan, seketika habis
dalam sekali telan.
Namun demikian, ternyata akhirnya kunang-kunang nakal itu malah
menjadi pesakitan, duduk di kursi yang tidak aman, tidur di kasur
berselimut bayangan, pikiran menerawang menunggu keputusan, meronta
tidak kuasa, pasrah tidak mampu membayangkan, karena pukulan palu
pengadilan mengancam diri akan akhiri perjalanan dalam penderitaan.
Dalam keadaan demikian, dimana-mana muncul setan bergentayangan,
memanfaatkan kondisi yang tidak menguntungkan, terang-terangan menuntut
pengembalian uang yang sudah hangus ditelan zaman, berkasak kusuk minta
harga jaminan, agar menjadi pelicin di dalam perjalanan, kalau tidak,
maka kunang-kunang nakal akan dimasukkan kurungan.
Sedangkan laron-laron yang berterbangan, dengan sorot mata yang
kosong, sebagian besar hanya dapat menonton dalam kebodohan, tidak
mengerti mengapa kunang-kunang yang dihormati itu kini menjadi
pesakitan.
Sementara itu, ada juga golongan yang kecewa dan marah tidak
ketulungan, hingga dimana-mana mereka mengeraskan suara, menggerakkan
masa yang seirama, karena merasa ditinggalkan kunang-kunang idaman, yang
selama ini sebenarnya menjadi sumber harapan, namun ternyata telah
terlebih dahulu melupakan kesepakatan, hingga harapan tinggal menjadi
harapan dan kenyataan tidak kunjung datang.
Itulah potret kehidupan, seandainya kunang-kunang tidak lupa
kesepakatan, selalu ingat kepada kawan yang dahulu menghantarkan
perjalanan dan selalu memegang pesan yang disampaikan sang pelita yang
sudah terlebih dahulu meninggalkan kehidupan, sehingga pemerataan
menjadi kenyataan, maka barangkali tidak ada kekecewaan yang berakibat
penyesalan.
Namun itulah kenyataan, tinggal masing-masing hati pandai-pandai
mengambil pelajaran, mencari mutiara hikmah yang tersembunyi sebagai
pelajara, yang kadang-kadang diselipkan di balik kesusahan.
Mutiara hikmah itu adalah realita. Apapun bentuknya, apabila
menjadikan orang susah dan menderita, maka itu berarti musibah dan
siksa, namun apabila menjadikan orang sadar, menyesal terus kemudian
taubat dengan taubatan nasuha, sehingga orang menjadi lebih baik dari
keadaan sebelumnya, maka itu berarti hakikatnya adalah rahmat. Sebab,
dengan kejadian itu orang akan mendapatkan pengalaman yang mahal yang
akan mampu menancapkan keyakinan.
Yang terpenting. Agar kekecewaan tidak terulang sepanjang zaman, maka
harapan harus dikondisikan. Sebab, arak kehidupan memang selalu
memabukkan. (05-2006)
Bait-bait puisi diatas adalah sebuah
potret kehidupan masa kini. Merupakan hasil renungan hati orang tua yang
sedang kebingungan. Dimana antara yang benar dan yang salah sudah
membaur di dalam satu kemasan, hingga para awam sulit membedakan.
Masing-masing orang mengaku menjadi pahlawan, namun anehnya, ternyata
mereka malah melakukan perampokan. Bahkan lebih jahat lagi, perampokan
itu dilakukan di atas meja kantor sendiri, dilakukan secara sistematis
dan terencana. Yang lebih parah lagi, ternyata hal itu jauh-jauh sudah
dilegalkan dengan SK Raja yang sedang berkuasa.
Apakah manusia sudah kehilangan hati
nurani, sehingga dengan perbuatan seperti itu mereka tetap saja merasa
tidak bersalah, padahal jelas-jelas ada yang dirugikan, uang rakyat,
uang mereka sendiri yang seharusnya mereka jaga, dan dengan tugas itu
mereka mendapatkan kepercayaan dan bayaran dari rakyat pula. Apakah
masing-masing kita memang harus berfungsi sebagai “pagar makan
tanaman”..? Seandainya masing-masing kita mau merasa bersalah saja,
barangkali keadaan negara dan bangsa ini masih memungkinkan dapat
diharapkan menjadi baik, kalau tidak, entahlah apa yang akan terjadi
nanti.
Demikian itu bisa terjadi, barangkali
karena masing-masing manusia sudah jauh dari sinar kehidupan yang
hakiki. Ilmu yang dimiliki hanya ilmu yang di luaran saja. Hanya hasil
olah akal yang kadang-kadang sempat dikolaborasikan dengan dorongan hawa
nafsu dan setan. Akibatnya, maka hukum rimba berlaku dimana-mana. Siapa
yang kuat dan berkuasa, merekalah yang akan memenangkan perkara,
sedangkan yang tidak punya apa-apa harus siap menderita, meringkuk di
dalam sel penjara dalam waktu yang lama, meski mereka meronta bakal
tiada guna, karena memang harus ada kambing hitam yang dikorbankan,
sebagai “tumbal balak”, supaya yang masih punya kesempatan bisa menambah
kepuasan. Jauh-jauh Rasulullah saw. telah memberikan peringatan dengan
sabdanya:
قَالَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ :
سَيَأْتِى زَمَانٌ عَلى أُمَّتِى يَفِرُّوْنَ مِنَ الْعُلَمَآءِ وَ
الْفُقَهَاءِ . فَيَبْتَلِيْهِمُ الهُُ تَعَالى بِثَلاَثِ بَلِيَّاتٍ .
أَوَّلُهَا يُرْفَعُ الْبَرَكَةُ مِنْ كَسْبِهِمْ . وَالثَّانِيَةُ
يُسَِلّطُ الهُُ تَعَالى عَلَيْهِمْ سُلْطَانًا ظَالِمًا . وَالثَّالِثَةُ
يَخْرُجُوْنَ مِنَ الدُّنْيَا بِغَيْرِ إِيْمَانٍ
“Akan datang suatu zaman atas umatku,
mereka meninggalkan para Ulama’ dan para Bijak, maka Allah akan
menimpakan ujian kepada mereka dengan tiga ujian. pertama: Dicabut
barokah dari kasabnya. kedua :
Dikuasakan kepada mereka penguasa yang
dholim. ketiga : Mati dengan tidak membawa iman”.
Oleh karena terlebih dahulu mereka telah
lari dari hidayah kehidupan, maka di setiap ada kesempatan, setan segera
datang menerkam, hingga hidup mereka tidak membawa keberkahan, selalu
diliputi kesusahan, karena mereka mendapatkan penguasa yang dholim yang
tidak berprikemanusiaan dan akhirnya mati di dalam kehinaan, baik di
dunia mapun di akhirat dalam kesengsaraan. Dewasa ini, komunitas manusia
menjadi tidak ada bedanya dengan kumpulan serigala, siapa perbuatan
salahnya kelihatan akan dimangsa bersama, tidak peduli itu siapa dia,
walau pimpinan yang dahulu telah berjasa. Wal ‘iyaadzu billah.
Ketidakadilan telah merata dimana-mana,
itulah yang memang dikehendaki oleh sebagian manusia. Mengapa demikian?
Karena sesungguhnya ketikadadilan itu telah dibudayakan, bahkan sejak
kehidupan murid masih di bangku sekolahan tingkat dasar. Murid-murid itu
bahkan dijadikan ajang pasar dadakan, setiap perusahaan bisa menawarkan
barang dagangan di sekolahan, asal para guru dan kepala sekolah
mendapatkan bagian keuntungan. Bahkan pejabat pemerintahan telah
berkonspirasi untuk melakukan korupsi, bersama pemilik penerbit buku dan
percetakan, memanfaatkan pergantian tahun ajaran, mereka bersama-sama
menjual buku pelajaran dengan sistem paksaan yang sengaja dibudayakan.
Sebagian besar manusia hanya mementingkan
diri sendiri, diperbudak oleh kehidupan duniawi, maka harta benda
adalah tuhannya yang hakiki. Oleh karena itu, kalau sudah terjadi
persaingan, baik di dunia bisnis maupun politik, tidak peduli lagi walau
yang menjadi saingan adalah mertua sendiri, asal disitu orang
memenangkan kesempatan, bahkan orang tuapun tetap dilahap dan dihabisi
oleh ambisi pribadi.
Supaya ilmu yang dimiliki tidak menjadi
jauh dari hidayah Allah Ta’ala, maka hadits Nabi saw. dibawah ini
memberikan jalan keluar dan penyelesaian.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : مَنْ أَرَادَ أَنْ يَحْفَظَ الْعِلْمَ فَعَلَيْهِ أَنْ
يُلاَزِمَ خَمْسَ خِصَالٍ : اَلاُوْلى صَلاَةُ اللَّيْلِ وَلَوْ
رَكْعَتَيْنِ . وَالثَّانِيَةُ دَوَامُ الْوُضُوْءِ . وَالثَّالِثَةُ
إتقوى فِى السِّرِّ وَالْعَلاَنِيَّةِ . وَالرَّابِعَةُ أَنْ يَأْكُلَ
لِلتَّقْوى وَلاَ لِلشَّهَوَاتِ. وَالْخَامِسَةُ اَلسِّوَاكُ
.
Rasulullah saw. bersabda: “ Barang siapa
yang ingin menjaga ilmu yang ada pada dirinya, ia harus melaksanaan lima
kebiasaan : Satu : Sholat malam walaupun hanya dua raka’at. Dua :
Dawaamul wudhu’ (menjaga kesucian). Tiga : Takut kepada Allah baik dalam
kondisi sepi maupun ramai. Empat : Makan hanya untuk kepentingan
takwa, bukan menuruti nafsu syahwat. Lima : Bersiwak”.
Bukan ilmu itu saja yang harus dijaga
dengan pemeliharaan yang baik, namun juga hidayah Allah yang menyertai
ilmu itu. Hidayah itu harus dijaga dengan pendekatan diri kepada yang
memberikan hidayah, Allah Subhanallahu Ta’ala.
Maka orang harus dekat kepada para Ulama
sejati, karena disana ada pencerahan hakiki, baik melalui tutur kata
maupun do’a-do’a yang dipanjatkan setiap hari, menjadi penyejuk hati dan
pengingat diri, agar hawa nafsu dapat terkendali dan setan tidak
memperdaya diri. Seperti filter yang menyaring kotoran, sehingga hati
selalu dalam penjagaan dan pemeliharaan, karena Allah Ta’ala telah
menurunkan pertolongan. Demikianlah sabda Nabi saw. menegaskan:
جُلُوْسُ سَاعَةٍ عِنْدَ الْعُلَمَآءِ أَحَبُّ إِلى اللهِ مِنْ عِبَادَةِ اَلْفِ سَنَةٍ
“Duduk sesaat di tengah-tengah para Ulama’ lebih disukai oleh Allah dari pada ibadah sendiri seribu tahun”.
Ketika Ulama sudah waktunya harus kembali
mendatangi panggilan Ilahi, seperti lampu yang telah dipadamkan pada
malam hari, maka alam kehidupan akan menjadi gelap gulita kembali.
Akibatnya, ketidakadilan terjadi dimana-mana karena orang tidak dapat
mempergunakan mata, kemudian manusia menjadi semakin liar karena orang
takut tidak mendapatkan bagian. Hingga akhirnya orang saling berusaha
membunuh kawan, jika tidak demikian, takut terbunuh duluan. Kalau sudah
demikian, berarti ambang kehancuran sudah berada di pintu gerbang.
Contoh akibat ketikadadilan, maka kantor dan pendopo Bupati Tuban, yang
dibangun dengan uang rakyat telah menjadi korban kebrutalan, dibakar
amuk masa karena rakyat merasa dikecewakan oleh penguasa yang sedang
berjaya.
مَوْتُ الْعَالِمِ مَوْتُ الْعَالَمِ
“Matinya Ulama’ adalah matinya alam”.
Oleh karena itu, orang harus punya rasa
penyesalan, mengapa mereka selama ini jauh dari kebaikan, lupa diri
sehingga meninggalkan Ulama yang telah menjadi panutan. Karena
penyesalan itu bisa menjadi penawar, bagaikan angin yang mengusir awan
mendung yang bergantungan, ketika ulama-ulama itu memang harus pergi
duluan, dengan penyesalan itu supaya orang menjadi ingat kepada apa yang
sudah ditinggalkan.
مَا مِنْ مُؤْمِنٍ يخزن يموت عَالِمٍ إِلاَّ كَتَبَ اللهُ تَعَالى لَهُ ثَوَابَ اَلْفِ عَالِمٍ وَاَلْفِ شَهِيْدٍ
” Barang siapa merasa bersedih dengan matinya Ulama’, akan ditetapkan baginya pahala seribu Ulama’ dan seribu Syuhada’”.
** Hadits-hadits Nabi saw. diambil dari kitab Durrotun Nasihin **
Sumber : http://ponpesalfithrahgp.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar